MUDAUPDATE.COM- Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto, meminta direksi PT Telkom menyusun kajian komprehensif mengenai potensi dan ancaman yang mungkin timbul dengan masuknya Starlink ke Indonesia.
Permintaan ini disampaikan Darmadi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VI DPR RI dan direksi PT Telkom di ruang rapat Komisi VI DPR RI, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Jakarta, pada Kamis (29/05/2024).
“Soal Starlink ini masih menjadi tanda tanya bagi masyarakat. Apa itu Starlink dan apa yang akan dilakukannya di Indonesia? Sebenarnya, ada beberapa pemain serupa yang juga berniat masuk ke pasar Indonesia. Kami di Komisi VI ingin memahami secara detail tentang Starlink, jadi kami meminta Telkom memberikan kajian lengkap mengenai kehadiran Starlink ini, termasuk ancaman dan dampaknya terhadap bisnis Telkom di masa depan,” ujar Bendahara Megawati Institute itu.
Darmadi juga mengingatkan direksi Telkom agar tidak bersikap inferior saat mengeluarkan pernyataan publik terkait sikap mereka terhadap kehadiran Starlink.
“Saya melihat ada pejabat Telkom yang ketika ditanya media tentang Starlink malah menyatakan dukungan. Ini seperti lelucon. Jangan bersikap inferior. Bagaimana bisa mereka mendukung sesuatu yang dapat mengancam lini bisnisnya? Kalian bisa kehilangan gaji jika Telkom terpuruk karena Starlink,” sindir Politikus PDIP itu.
Darmadi menyoroti skema bisnis yang dilakukan Starlink yang dapat mengancam anak usaha Telkom di masa depan.
“Layanan Starlink yang paling membahayakan Telkomsel adalah Direct to Cell. Layanan ini memungkinkan mereka melayani segmen seluler. Saat ini sedang diuji coba di beberapa negara dan mendapat respons positif. Jika berhasil, Telkomsel akan terancam karena pelanggan bisa berpindah ke Starlink. Jika Telkomsel runtuh, maka Telkom pun ikut terpuruk,” tambah Darmadi.
“Mereka hanya mau bekerja sama dalam pemasaran business to business (B2B) dan bukan business to consumer (B2C). Ini adalah ancaman serius yang tidak bisa diabaikan,” sambungnya.
Padahal, lanjut Darmadi, negara seperti Amerika Serikat yang menganut sistem ekonomi bebas, tetap mengharuskan Starlink bekerja sama dengan operator lokal demi melindungi kepentingan bisnis dalam negerinya.
“Di AS, Starlink bekerja sama dengan T-Mobile untuk layanan direct to cell ini. Bahkan negara-negara seperti China, Singapura, dan Thailand belum mengizinkan Starlink masuk. Kenapa kita terburu-buru mengizinkan tanpa kajian mendalam, hanya berharap pada investasi yang belum tentu ada dari Elon Musk? Kita harus melindungi operator lokal, bukankah kita menganut sistem ekonomi Pancasila?” tandasnya.
Darmadi juga menyoroti kontribusi signifikan Telkomsel terhadap pendapatan Telkom.
“Pada Q1 2024, kontribusi Telkomsel sebesar 88% dari total laba Telkom, dan banyak usaha mendapat limpahan bisnis dari Telkomsel. Oleh karena itu, diperlukan peta jalan dan strategi khusus menghadapi ancaman ini. Jika Starlink masuk ke segmen B2C, Telkomsel bisa gulung tikar dan Telkom akan tenggelam. Kami meminta kajian komprehensif dari Telkom terkait potensi ancaman dari Starlink. Telkomsel dan Telkom adalah milik rakyat yang harus kita lindungi dari ancaman asing,” tegasnya.
Darmadi juga menyinggung praktik predatory pricing yang dilakukan Starlink ketika masuk ke pasar Indonesia.
“Belum apa-apa mereka sudah menurunkan harga perangkat kerasnya dari Rp7 juta-an menjadi Rp4 juta-an, hampir 40 persen mereka turunkan. Saya yakin mereka bisa menurunkan hingga satu juta. Ini artinya, penyedia layanan internet seperti Telkomsel akan tergerus nantinya.
Jadi, tolong para pejabat Telkom jangan memberikan pernyataan yang mendua kepada publik. Bagaimana mungkin kalian mendukung pesaing yang bisa membuat bisnis kalian ambruk? Saya paham kalian tidak punya kewenangan, tapi setidaknya beri masukan kepada pemerintah mengenai potensi ancaman dari kehadiran Starlink terhadap kelangsungan bisnis ISP dalam negeri, terutama Telkomsel dan Telkom,” tegasnya.
Terakhir, Darmadi juga menyoroti keberadaan beberapa anak usaha Telkom yang tidak memberikan kontribusi signifikan.
“Menurut catatan saya, Telkom memiliki sembilan anak usaha. Dari semua itu, hanya Telkomsel yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan Telkom, yaitu 88,3 persen. Anak usaha lainnya sangat minim kontribusinya. Jadi, untuk apa dipertahankan jika hanya menjadi beban? Sebaiknya anak usaha selain Telkomsel dievaluasi atau dibubarkan saja,” tegasnya.