Reformasi Polri 2025: Antara Harapan dan Kenyataan

Andi In amul Hasan selaku Ketua Umum PB IKAMI Sulsel 2023-2025

Ketika lagu Sukatani dari The Panturas viral dan memicu perdebatan sosial tentang ketimpangan serta ketidakadilan, saya justru melihat ironi yang lebih luas: lagu ini seperti refleksi dari kondisi Polri saat ini. Di satu sisi, ada harapan besar terhadap perubahan, tetapi di sisi lain, realitas di lapangan masih dipenuhi dengan kekecewaan publik.

Berdasarkan data hingga Maret 2025, saya ingin mengevaluasi kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri), terutama dalam upaya reformasi, tantangan yang masih mengakar, serta bagaimana dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat.

Reformasi Polri: Kemajuan atau Ilusi?

Sejak dicanangkannya strategi reformasi Polri 2005–2025, ada berbagai inisiatif yang patut diapresiasi. Digitalisasi layanan publik, hotline 110, serta program seperti #RiseAndSpeak untuk perlindungan perempuan dan anak adalah langkah positif yang meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan kepolisian.

Namun, seberapa besar perubahan ini benar-benar terasa? Survei Setara Institute pada 2024 mencatat bahwa 61,7% ahli menilai performa Polri masih buruk, dengan hanya 16,8% yang memberikan penilaian positif. Artinya, reformasi yang dijalankan masih dianggap lebih bersifat kosmetik daripada substansial. Bahkan, RUU Reformasi Polri yang tertunda pada 2024 justru menuai kritik karena dinilai lebih memperkuat kewenangan tanpa meningkatkan akuntabilitas.

Seperti lagu Sukatani yang menggambarkan stagnasi hidup rakyat kecil, reformasi Polri pun tampak berjalan di tempat. Ada modernisasi, tetapi kepercayaan publik justru tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

Tantangan Sistemik: Korupsi, Kekerasan, dan Impunitas

Salah satu tantangan terbesar Polri adalah budaya impunitas dan korupsi yang sulit diberantas. Kita masih ingat kasus Ferdy Sambo dan Brigadir Yosua pada 2022 yang mengungkap sisi kelam institusi ini. Meskipun Sambo akhirnya dijatuhi hukuman mati, kasus ini membuka mata publik bahwa kekuasaan di internal kepolisian masih bisa disalahgunakan dengan mudah.

Pada 2025, meski tidak ada skandal sebesar itu, laporan Tempo.co Februari 2025 mengungkap dugaan pemerasan dan keterlibatan pejabat tinggi kepolisian dalam jaringan narkoba. Ini menjadi bukti bahwa masalah lama belum benar-benar selesai.

Tak heran jika kritik terhadap Polri terus bergema di media sosial. Tagar seperti #SatuHariSatuOknum dan #NoViralNoJustice mencerminkan ketidakpuasan masyarakat. Berdasarkan survei LSI, kepercayaan publik terhadap Polri yang sempat mencapai 80% pada 2019 kini turun ke angka 45% pada 2022 dan belum menunjukkan pemulihan yang signifikan.

Seperti dalam lirik Sukatani yang berbicara tentang realitas pahit masyarakat kecil, masyarakat Indonesia pun tampaknya masih harus berhadapan dengan realitas pahit bahwa reformasi Polri belum sepenuhnya berhasil mengatasi persoalan mendasar dalam institusi ini.

Polri dan Kepercayaan Publik: Dari Puncak ke Jurang

Kepercayaan terhadap Polri mengalami pasang surut yang tajam. Pada 2019, tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian mencapai 80%, tetapi skandal seperti Tragedi Kanjuruhan 2022 (yang menewaskan 135 orang) serta kasus Ferdy Sambo membuat kepercayaan anjlok hingga 45% pada 2022 (LSI).

Di era digital ini, media sosial mempercepat penyebaran kritik. Jika dulu kasus salah tangkap atau kekerasan polisi hanya menjadi perbincangan terbatas, kini publik bisa langsung melihat dan menilai sendiri melalui video yang viral. Fenomena ini membuat Polri semakin sulit mengendalikan citranya.

Pencapaian yang Layak Diakui

Di tengah kritik, Polri tetap memiliki sejumlah capaian. Pada 2021, Gallup menempatkan Polri sebagai salah satu institusi kepolisian dengan tingkat kepercayaan tertinggi di dunia (92%). Selain itu, digitalisasi layanan dan program kepolisian berbasis komunitas juga mulai menunjukkan dampak positif, terutama dalam meningkatkan akses layanan bagi masyarakat.

Namun, apakah ini cukup untuk menghapus citra buruk akibat berbagai skandal? Sayangnya, data menunjukkan bahwa satu prestasi baik tidak cukup untuk menghapus serangkaian kegagalan.

Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan

Lagu Sukatani mengingatkan kita pada kerasnya realitas sosial yang dihadapi rakyat kecil. Saya melihat bahwa kondisi Polri saat ini juga mencerminkan realitas serupa—banyak harapan, tetapi realitas di lapangan masih jauh dari ideal.

Reformasi Polri yang telah berjalan dua dekade masih menghadapi tantangan berat. Modernisasi layanan memang patut diapresiasi, tetapi tanpa penegakan hukum yang adil dan pemberantasan korupsi internal, upaya ini hanya akan menjadi perubahan permukaan.

Ke depan, saya berharap Polri tidak hanya berfokus pada pencitraan, tetapi juga pada reformasi substansial yang benar-benar bisa mengembalikan kepercayaan publik. Tanpa itu, Polri akan terus berada dalam lingkaran kritik dan ketidakpercayaan, jauh dari harapan masyarakat yang menginginkan institusi kepolisian yang profesional dan dapat diandalkan.

Penulis: Andi Inamul

Editor: Kaharuddin

Tinggalkan Komentar

Iklan